Home » » NOSTAL-GILA GENERASI 90'AN

NOSTAL-GILA GENERASI 90'AN

Written By profitgoonline on Minggu, 16 Februari 2014 | 23.09

Perbedaan anak-anak zaman dahulu dan sekarang. Kasta zaman anak sekarang ditentukan dari seri gadgetnya, kalau zaman kita dulu kasta seorang anak ditentukan oleh banyaknya kepingan tazoz, kartu mainan dan kelereng yang dipunyai. Hehe...

Somehow, terkadang  saya merasa hidup di zaman dahulu lebih fair. Karena untuk mendapatkan segepok kartu, kepingan tazoz dan kelereng, kita harus berjuang mati-matian terlebih dahulu. Berbeda dengan gadget yang dimiliki anak sekarang, tingkat kecanggihannya tergantung dari seberapa besar budget orang tuanya.

Well, saya masih ingat dengan abang saya. Sewaktu kecil dia punya kelereng dan kartu banyak sekali. Padahal  saat pergi bertarung, abang cuma bawa sekitar lima kartu untuk gacoan tapi ketika pulang abang bisa bawa segepok. Saking banyaknya kartu dan kelereng itu, sampai-sampai sama abang dijual kembali. Belakangan ini saya curiga, barang kali abang punya trick licik untuk memenangkan semua permainannya.

Ketika saya bercerita tentang ini pada teman satu kos, ternyata dia juga punya masa keemasan yang sama. Sewaktu kecil, kalau main kartu dia selalu menang, paling apes  draw. Nah, di akhir cerita dia ngaku, dia pakai trik untuk memenangkan permainannya. Di dalam kartu gacoannya sebenarnya ada dua kartu yang di lem. Jadi kartunya ini punya dua muka. Sehingga setelah di tos, apapun yang terjadi kartunya akan menunjukkan bagian muka terus. Bagaimana dia nggak menang? Jadi mikir jangan-jangan saya dulu adalah korban trik liciknya. *hening...  

Btw kalau ingin bernotalgia zaman kita dulu, saya rekomendasikan baca buku  “Generasi 90 an”. Buku ini lucu. Eye catching, banyak gambarnya dan penuh warna. Ketika baca buku ini timbul rasa gemas, jadi ingat zaman kita tempo dulu. Mengapa judul bukunya “generasi 90 an? “karena buku ini merekap ulang masa kecil kita. Anak-anak yang lahir di era tahun 80- 90 an. Meski  waktu hanya berlalu beberapa tahun dengan zaman sekarang, namun kondisinya sudah beda banget. Contohnya  pada zaman sekarang kalau kita melihat anak-anak pegang ipad adalah hal yang biasa-biasa saja. Kalau zaman kita dulu, bisa bawa walkman saat pariwisata itu sudah keren banget, haha...



Guys, ingatkah kalian. Untuk sekedar bisa telfon, kita mesti antri pakai telfon koin.
Guys, ingatkah kalian, dimasa dimana kita harus selalu on time ketika janjian, karena zaman dulu nggak ada HP, BB dan WhatsApp untuk konfirmasi.


Di zaman itu, kita juga bisa melihat siapa saja yang sedang main dirumah seorang kawan hanya dengan melihat sandalnya. Lha kalau anak sekarang jangukin orang sakit cuma lewat BB sama whatsApp. Terus Cuma dikasih emot titik dua kurang buka. Hmmmm....

Inilah salah satu hal yang membuat saya bersyukur lahir diera tahun 90 an. Dimana black berry dan apple masih menjadi buah. Guys, kita beruntung lahir pada zaman yang mendidik kita untuk mendayakan segala apa yang melekat dengan diri kita. Zaman yang melatih kita untuk menggunakan dengan baik kombinasi kaki dan tangan kita. Untuk manjat belimbing tetangga misalnya hehee, Untuk berlari mengejar layangan, untuk main polisi-polisian, gobak sodor/ go back to door. Dan berbagai permainan tradisional lainnya.

Sebenarnya permainan tradisional tidak hanya melatih kita untuk mengembangkan fisik saja tetapi juga membantu menumbuh kembangkan kebesaran jiwa kita. Seperti kebersamaan, rasa berbagi dan bekerja dalam team work. Juga mengajarkan kesabaran untuk berproses. Saya masih ingat bagaimana saya hampir menangis karena menjadi anak yang jaga di permainan petak umpet. Hampir satu jam saya nyari teman yang bersembunyi, eh ternyata yang dicari malah buang air besar besar di rumah. *wealah :3

Saya juga masih ingat bagaimana rasanya harus menunggu giliran main dakon, tutup botol dan bekel. Dulu waktu pas SD saya pernah main bekel. Baru satu menit, bola saya sudah lepas kontrol menggelinding.Ini berarti saya harus gantian buat lawan saya yang main sedangkan saya ganti yang nunggu giliran. Tapi pas teman saya yang main, dia itu mainnya jago banget. Dari awal permainan sampai tamat dia itu nggak mati. Saya nunggu hampir satu jam. Benar-benar menguras kesabaran.

Hal inilah yang membuat saya berpikir, mengapa generasi zaman dulu itu lebih tangguh dari zaman kita? Bapak-bapak kita atau ibu-ibu kita dulu misalnya. Kalau mendengar cerita mereka, kisahnya selalu dipenuhi dengan perjuangan. Harus masak nasi dan air atau bahkan jualan di pasar sebelum berangkat ke sekolah, jalan berkilo-kilo di pagi yang buta menuju ke sekolahan, luar biasa sekali. Intinya mereka mau bersusah-susah. Ini yang membuat saya punya pemikiran, mengapa orang-orang zaman dahulu lebih gigih, karya-karya mereka lebih bagus. Karena mereka di tempa dengan proses. Mereka bisa tumbuh tanpa menghirup polusi pragmatisme yang muncul akibat dari efek samping sebuah teknologi. Agar bisa merasakan kegigihan mereka, mari kita bayangkan jika hidup dizaman mereka. Termasuk harus merampungkan skripsi tanpa google. Wah nggak kebayang deh.

Mari kita bernostalgia sebentar. Ingatkah kawan, dahulu kalau kita main masak-masakan mesti nyari daun-daunnya dulu. Saat main tembak-tembakan juga, kita harus nyari batang pisangnya dulu. Kalau anak sekarang mana mau? Mereka lebih memilih nge-game cooking academic atau playtipus. Bisa jadi hal inilah yang menyebabkan mereka tidak sabaran. Kebanyakan mereka tidak sabaran kalau harus mengantri menunggu 5 menit, harus berjalan 10 meter atau bersusah-susah sedikit. Mereka lebih menyukai segala hal yang bisa diinstankan. Bisa jadi salah satu penyebabnya karena kebiasaan mereka yang terbiasa dipenuhi dalam beberapa detik dengan sekedar pencet-pencet keypad. 

Memang, teknologi memiliki dua mata pisau, disisi lain bisa mempermudah hidup kita. Namun jika kita tidak waspada, teknologi bisa menjadi boomerang bagi diri kita sendiri. Kita bisa terjebak dalam konsep hidup yang serba pragmatis. Itulah dasar pemikiran saya, mengapa saya senang menghidupkan kembali permainan tradisional di dunia anak. Salah satunya di TPA. Kebetulan di samping kosku persis ada masjid yang rutin menyelenggarakan TPA. Kalau sudah jam setengah lima dan belum ada ustazah yang datang, biasanya saya didatangin anak-anak itu. Mereka meminta saya untuk mengajar. Kalau sudah dihadapkan pada kondisi seperti itu, otomatis saya harus menangani belasan atau puluhan anak seorang diri. Rasanya tidak mungkin jika saya harus menyimak mereka mengaji satu persatu seperti biasanya. Pada saat-saat kondisional seperti itu biasanya saya gunakan untuk bermain permainan tradisional bersama-sama mereka. Seperti main kucing-kucingan, jamuran atau petak umpet. Setelah mereka lelah dan nggak ribut, baru saya isi dengan cerita nabi atau tafsir surat.

Sejauh ini mereka tampak menikmati. Bahkan selalu minta permainan terus pada saya. Saat melihat mereka bermain tampaknya mereka gembira sekali. Mungkin mereka sedang menikmati dunia mereka yang sebenarnya.

Saya meyakini, secara fitrah anak-anak lebih bergembira ketika bisa menjadi aktor utamanya, dimana mereka tidak hanya menjadi objek, atau penonton. Tapi mereka sendirilah yang menjadi subyek untuk bereksplorasi di dunianya. Saat itulah mereka kembali pada fitrah yang semestinya, dimana kaki mereka bebas berlari dan melompat. Tangan mereka bebas berayun kemana. Kemudian tertawa tanpa beban. Keterampilan individupun harus di koordinasikan. Mereka benar-benar dilatih untuk kerja sama. Sebenarnya tidak hanya di TPA saya menggalakkan permainan tradisional. Saya melakukan disetiap kondisi yang memungkinkan, terutama pada keluarga. Seperti pada adik-adik sepupu saya misalnya. Atau jika ada kerabat jauh yang pada berdatangan. Sebelum mereka merasa asing dan jenuh, permainan tradisional bisa menjadi solusi yang ampuh agar mereka tidak rewel.

Untuk itu saya menyarankan, jika kita adalah orang tua atau kakak yang sibuk dan tidak punya banyak waktu untuk anak-anak. Dan kita menghawatirkan ketergantungan mereka akan game dan TV, maka ajaklah sekali-kali mereka bermain permainan tradisional. Sejujurnya saya pribadi pun menyimpan rindu pada momen-momen itu. Bahkan saya menyimpan harap suatu saat nanti saya ingin kembali bermain, dimana keluarga saya, Bapak, Ibuk, Abang dan adik saya bermain sepak bola bersama meski kami sudah dewasa.

Pada akhirnya saya berkesimpulan, teknologi boleh mendominasi zaman, tetapi kita bisa berikhtiar agar polusinya tidak menodai karakter malaikat-malaikat kecil kita. Sekarang saatnya bagi kita untuk memberi ruang memori hangat bagi mereka untuk dikenang. Ajaklah mereka keluar kembali pada alam, bermain, berlarian dan tertawa bersama. Berikan Kedekatan, kebersamaan dan kepedulian untuk mengembalikan mereka pada fitrah sebagaimana mestinya, bahagia itu sederhana.

Oleh : Arkandini Leo
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Materi Kuliah | Fanspage Facebook | Twitter
Copyright © 2013. BIOLOGI - All Rights Reserved
Published by BIOLOG-INDONESIA