Bagi kalian yang merasa kesusahan dengan namanya bangku kuliah atau nyaris mutung kuliah, mungkin ada baiknya kalian simak catatan ini. Disinilah hasil perenungan titik balik saya setelah lima tahun dirundung kegamangan untuk meluluskan atau tidak. Alhamdulillah sekitar satu minggu yang lalu saya berhasil mendapat jawaban, mengapa saya harus lulus? Jika ada teman-teman yang berpikir, tidak lulus itu tidak apa-apa. Terserah orang mau ngomong apa karena saya adalah tipe orang yang tidak peduli omongan orang, maka saya juga tipe seperti itu. Malah bisa dibilang parah. Saya orangnya nggak malu untuk datang ke Bank kalau kepepet harus menunaikan hajat besar alias ke toilet. Jadi ketika satpam membuka pintu masuk lalu dengan sok ramahnya bertanya, “Bisa saya bantu bu?” Dengan santai saya menjawab, “Dimana toilet?” setelah selesai menyetorkan hajat ,saya akan berlalu santai begitu saja dengan tidak mempedulikan wajah satpam yang bengong.
Misalnya lagi sewaktu UAS. Beberapa kali saya kelupaan memakai sandal. Padahal aturannya kalo ujian gak boleh pakai sandal harus sepatu. Kalau sudah begitu saya akan melepas sandal di tangga dan masuk kelas tanpa alas kaki. Geli juga sih waktu lihat mata teman-teman yang beberapa kali berkedip-kedip mantengin tapak kaki saya. Antara percaya dan tidak, seolah-olah sedang bertanya pada saya, “situ beneran gak pakai alas kaki, atau apa aku yang salah lihat?”. Alhamdulillah selama ini jurus itu selalu ampuh. Dalam pikiran saya, setidaknya nanti kalau ditegur pengawas, setidaknya saya bisa membela diri, “Peraturannya kan nggak boleh pakai sandal bukan nggak pakai alas kaki?” hehe..
Secuek-cueknya saya, akhirnya saya mendapat pencerahan tentang kelulusan. Saya harus lulus bukan karena masalah pandangan orang saja. Memang sedari kecil saya termasuk anak yang tidak merasa cocok belajar di sekolah. Dan entah mendapat ajaran dari siapa, dari dulu saya tidak setuju dengan doktrin seperti ini, “Untuk mendapat masa depan yang layak, satu-satunya jalan adalah dengan menyelesaikan pendidikan dengan baik alias sekolah yang bener” Jadi wajar jika dari kecil saya kerap dihukum dan jadi bahan omongan guru-guru. Karena tidak pernah mengerjakan PR, Tidak mau mencatat dan selalu telat masuk sekolah
Sewaktu SMA, ibu pernah sakit hati waktu tahu saya tidak memperhatikan guru ketika di kelas. Jika guru menerangkan pelajaran kimia, saya belajar bahasa inggris. Ketika guru ngajar biologi, saya belajar kimia. Dan terus seperti itu. Dengan mata yang memerah ibu berkata, “Ibu ini guru, jadi ibu tahu betul perasaan seorang guru jika disepelekan seperti itu” Sedangkan saat itu guru-guru saya sudah pada tahap mendiamkan saya. Bahkan pada suatu hari saya pernah mendengar salah satu dari beliau yang berkata, “Sudah kita biarkan anak itu, kita lihat saja kelak akan menjadi apa”. Namun ada beberapa gelintir guru yang bisa memahami saya. Salah satu yang paling saya ingat adalah pak guru saat saya kelas 6 SD. Namanya Pak Soeparno. Ketika beliau mengajar dan saya kumat cerewet atau berulah, beliau memberi soal tersendiri untuk saya. Beliau sangat mengerti bagaimana memperlakukan spesies seperti saya.
Singkat cerita, tidak ada yang menyangka pada akhirnya saya di terima di UGM lewat ujian tulis dengan sumbangan paling minim. Guru saya, tante saya,Orang tua saya, para tetangga dan teman-teman pada kaget. Karena selama ini prestasi saya di sekolah pas-pasan. Biasanya peringkat ke-19 dari 42 siswa. Sesudah masuk bangku kuliah saya merasakan hal yang sama dengan masa-masa saya sekolah dahulu. Saya tidak betah belajar di bangku kuliah. Ujian orang memang beda-beda. Ada yang diuji secara ekonomi, ada yang di uji dengan keluarganya, ada pula yang diuji dengan penyakit. Begitu juga dengan yang saya alami. Kemungkinan besar orang-orang sulit memahami apa yang saya rasakan. Saya paling tidak bisa melakukan hal yang tidak ingin saya lakukan. Misal sewaktu kecil dahulu, saya pernah dipaksa diajari menjahit baju yang robek. Kemudian apa yang terjadi? Hampir seharian diajari, saya tetap tidak bisa melakukan hal yang super simple tersebut. Berjam-jam saya menangis, ibu saya bingung kenapa ‘dibegitukan saja’ saya bisa menangis selama itu. Begitu juga dengan saya sekarang. Banyak orang yang bilang, masak hal begituan saja tidak bisa? Tapi bagi saya ini adalah kesulitan terbesar saya. *pesan moral: Jangan pernah meremehkan kelemahan orang lain. Karena setiap individu pasti punya kelemahan sendiri-sendiri.
Sepertinya akan lebih baik jika saya tidak bicara panjang lebar tentang diri saya. Khawatirnya valuenya malah akan memudar. Disini saya hanya menyarankan kepada teman-teman yang memutuskan untuk berhenti kuliah atau mutung sama skripsi. Coba ditimbang baik-baik mudorot dan manfaatnya. Di luar sana memang ada orang yang berhasil tanpa ijazah. Mari kita telisik biografinya dengan lebih cermat lagi, segelintir orang-orang ini sukses bukan berarti tidak belajar. Di luar sana mereka belajar jauuuuhhh lebih keras dari standar kita. Dan orang-orang jenis ini adalah orang yang memang sudah terbukti kemampuannya sehingga masyarakat umum sudah bisa diyakinkan tanpa adanya ijazah. Untuk bisa seperti meraka jelas bukan hal yang mudah. Nah kalau kita tidak terlalu percaya diri memiliki kemampuan yang ‘spartan’ seperti orang-orang ini, menurut saya ijazah dapat dijadikan sabuk pengaman kita.
Permasalahan kedua adalah pikirkan juga tentang keluarga. Dahulu saya berpikir, saya berjanji akan belajar lebih keras di luar bangku sekolah untuk meluruskan paradigma keluarga saya. Bahwa kita harus bisa menerima anak yang memang tidak bisa belajar di bangku sekolah. Tidak masalah bukan, selama ia bisa berhasil dan bisa memberi kemanfaatan bagi banyak orang? Saat itu saya benar-benar menggebu untuk mewujudkan misi tersebut. Mungkin semenggebu Patih Gadjah Mada yang akan terus berpuasa selama belum bisa menyatukan nusantara.Tapi sekarang saya sadar, saya harus menyelaraskan impian dengan realita yang ada.
Saya mulai tersadar ketika ada teman yang ayahnya meninggal tiga hari menjelang dia wisuda. Katanya nyeseknya bukan main. Walaupun saya juga tahu ayahnya dialam barzah sana sama sekali tidak memerlukan ijazahnya. Yang disesalkan adalah ketika dia tidak bisa berbakti pada ayahnya ketika di dunia, dengan meloloskan keinginan yang sangat sederhana, sekedar melihat dia lulus. Ada juga kasus lain, teman saya yang hubungannya mulai tidak harmonis dengan ibunya karena tidak lekas lulus. Sejujurnya, saya juga merasakan perbedaan sikap ibu saya sekarang. Sebelumnya saya tidak pernah mendengar satu kalimat jelek tentang diri saya keluar dari mulut ibu. Kata-kata yang saya dengarkan misalnya, “Ingatanmu kuat, kamu pasti bisa, Kamu hebat, dsb” Dan beberapa hari yang lalu saya cukup kaget ketika ibu saya mulai bilang,“Kamu kan biasanya pintar, ga tahu aja kenapa sekarang kok ga lulus-lulus” Dan baru kemarin ibu saya bilang, “kamu itu telah lalai makanya cepet dikebut biar lulus”
Saya merenung, mungkin celetukan-celetukan itu spontanitas berasal dari kekecewaan dalam hatinya. Dosisnya memang masih ringan, tapi kalau dibiarkan lama-lama bisa fatal juga. Bisa-bisa seperti teman saya, yang apapun disalahkan oleh ibunya. Kemudian saya mikir lagi bagaimana perasaan ibu setiap datang pertanyaan, “Kok Dini belum lulus?” mungkin saya bisa tahan dan menganggapnya sebagai angin lalu. Tapi saya tidak tahu dengan hati ibu. Menurut saya kalimat itu cukup bisa menampar hatinya. Saya tidak mau orang tua tersakiti karena diri saya sendiri.
Satu poin lagi, walaupun saya adalah anak yang tidak suka belajar di bangku formal. Tetapi saya mendukung proses wajib belajar. Bagaimanapun itu dibutuhkan. Apa ada orang yang mau dibedah perutnya sama orang yang belum disumpah dokter. Itu dari segi kemanfaaatan untuk masyarakat. Dari segi individu, bangku formal itu memberi banyak keuntungan. Disana ilmu terfasilitasi dengan rapi. Dan dari sana kita juga bisa terakses dengan orang-orang yang kompeten. Dengan sebuah gelar, tentunya juga akan mempermudah gerak langkah kita untuk mengup-grade kemampuan diri dan memberi kemanfaatan yang besar bagi banyak orang.
Jadi saran saya bagi yang masih kuliah, kerjakanlah dengan baik. Lakukanlah sebagai bentuk kesyukuran atas kesempatan yang diberikan Tuhan. So do the best, sebelum semuanya menjadi lebih sulit dan lebih sulit lagi, persis seperti apa yang saya rasakan sekarang.
-untuk yang baru masuk kuliah, dijaga semangat belajarnya. Karena kalau kelamaan ngulang dan kelamaan lulus nanti akan menjadi beban tersendiri.
-Untuk yang fighting skripsi, dijaga juga kedisiplinan diri dan fokusnya. Karena semakin lama kita molor, maka akan semakin menambah beban. Mendingan cepet kelar daripada beban itu semakin tumpuk-menumpuk. Dengan cepat lulus itu berarti kita tidakmemubazirkan waktu. Kita akan jauh lebih efektif mencari uang misalnya atau berkeluarga.
-Terus untuk yang punya teman skripsi, atau tetangganya yang lagi skripsi jangan sering ditanya-tanyain, “kapan lulusnya?” Jangan juga mengajukan pertanyaan seperti ini, “Kok lama lulus, emangnya susah banget ya?” Mendingan jangan ditanyain deh, kecuali kalau kalian bisa bantu sesuatu. Karena Ini akan menjadi pertanyaan yang menohok. Lebih baik di doakan saja. Juga jangan sering dimintain tolong atau diajakin main. Tentu saja bagi orang yang pusing skripsi, pergi ke toko buku atau ke mall lebih menggiurkan.
-Dan untuk orangtua yang anaknya skripsi, apalagi skripsinya molor. Sesungguhnya kami sudah beban betul. Kalimat pendorong dari keluarga adalah oase bagi kami. Semisal: “Yakin aja Nak, disini ibu mendoakanmu. Aku yakin kamu pasti Bisa. Kalau kamu percaya dengan doa ibu, yakin saja” Begitu juga dengan saudara-saudara terdekat, kalimat support dari kalian ibarat pocari sweat di tengah padang pasir.
Nah bagi yang mau mutung kuliah, silahkan perenungan saya dikaji lagi. Tapi kalau teman-teman yakin dengan keputusan itu dan siap menanggung segala konsekuensinya, go ahead!
*demikian dari saya semoga bermanfaat,
#Arkandini Leo